Rabu, 22 Juni 2011

Kisah Islami 4

Mengenal Pahlawan Nasional KH Ahmad Rifa’i
Ulama Besar yang Gelorakan Anti penjajahan
 
             KH Ahmad Rifa’i dilahirkan pada Kamis 9 Muharram 1200, bertepatan dengan 1786 Masehi di Desa Tempuran Kecamatan/Kabupaten Kendal. Ayahnya seorang penghulu bernama Muhammad Marhum bin Abi Sujak Wijaya alias Raden Sucowijoyo, sedangkan ibunya Siti Rochmah. KH Rifa’i merupakan bungsu dari delapan bersaudara. Pada usia tujuh tahun, dia yang sudah tidak mempunyai orang tua. Selanjutnya dia tinggal di rumah kakak kandungnya, Nyai Rajiyah binti Muhammad Marhum, dan kakak iparnya yang bernama KH Asy’ari, seorang ulama pendiri dan pengasuh pondok pesantren di Kaliwungu Kendal. Oleh kakak iparnya, Kiai Rifa’i diasuh dan diajari ilmu-ilmu agama dengan berbagai cabang.
           Pada masa mudanya, Ahmad Rifa’i sering melakukan tablig keliling di daerah Kendal dan sekitarnya. Dalam dakwahnya dia tidak hanya menyampaikan masalah-masalah agama, tapi juga sosial masyarakat. ”Terutama pemahaman terhadap kemerdekaan dan antikolonial. Karena itu, beberapa kali Kiai Rifa’i diperingatkan oleh Pemerintah Hindia Belanda, bahkan pernah dimasukkan dalam penjara di Kendal dan Semarang,” kata Ketua Umum Rifa’iyah H Syadhirin.
          Atas jasa-jasa dan pengorban ulama tersebut Presiden Susilo Bambang Yudhoyono menganugerahkan gelar Pahlawan Nasional kepada KH Ahmad Rifa’i……… Penganugerahan itu diberikan sesuai dengan Keppres No 089/TK/Tahun 2004.
Setelah keluar dari penjara, KH Rifa’i pada 1255 H menunaikan ibadah haji dan bermukim di Makkah dan Madinah untuk mendalami ilmu agama selama delapan tahun.
Di antara guru-gurunya selama di Tanah Suci adalah Syeh Al Barowi, Syeh Ibrohim Al Bajuri, Syeh Muhammad bin Abdul Aziz Al Jaisi, Syeh Abdurrahman, Syeh Abu Ubaidah, dan Syeh Usman.
          Pada 1252 H Kiai Rifa’i kembali ke Indonesia. Pada saat itu beliau berusia 51 tahun dan langsung menuju ke Kaliwungu membantu kakak iparnya menjadi ustad di pondok pesantren.
Sebagai ustad yang baru datang dari Tanah Suci, KH Ahmad Rifa’i mendapat perhatian dan simpati pada santri. Selain mengajarkan ilmu-ilmu agama, beliau juga menyampaikan pentingnya semangat nasionalisme terkait dengan sikap antipenjajah.
Karena kritik-kritiknya yang tajam tersebut, dia dilaporkan kepada Pemerintah Belanda dengan tuduhan membuat kerusuhan. Kemudian, Kiai Rifa’i ditangkap untuk dimintai keterangan sehubungan dengan kegiatan dakwahnya.
         Setelah dibebaskan, KH Rifa’i dikucilkan keluar dari Kaliwungu dan ditempatkan di Kalisalak Kabupaten Batang pada 1838 M. Sebelum dia berangkat ke Kalisalak istrinya wafat.
Di tempat terpencil itu Kiai Rifa’i merasa prihatin karena dalam keadaan berduka dipisahkan dari para santrinya di Kaliwungu. ”Di Kalisalak, semula Kiai Rifa’i menyelenggarakan pengajian untuk anak-anak. Karena metode mengajarnya sangat menarik dengan menggunakan bahasa Jawa dalam bentuk nadhom (puisi), santrinya bertambah dan berkembang menjadi majlis taklim.”
          Untuk memfasilitasi minat para santrinya yang ingin tinggal dekat dengan Kiai Rifa’i dan mewujudkan cita-citanya maka didirikan pondok pesantren dan masjid di Kalisalak.
Mengkader Santri
          Di dalam pondok terpencil dan jauh dari jangkauan kontrol Pemerintah Hindia Belanda itu Kiai Rifa’i yang semakin termashur lebih berkonsentrasi mengkader santri-santrinya. ”Ternyata kehadiran Kiai Rifai juga dikagumi oleh seorang janda demang yang kaya bernama Sujinah. Keduanya lalu melangsungkan pernikahan. Perkawinan itu semakin memperkuat kedudukannya di Desa Kalisalak dan di tempat yang terpencil itulah dia mendidik kader-kader militan untuk menjaga dan meneruskan ajarannya,” tutur Syadhirin.
Di antara kader-kader Kia Rifa’i yaitu Abdul Hamid, Abu Hasan, Abdul Aziz dari Wonosobo, Ishaq (Patebon Kendal), Ilham (Kalipucang,Batang), Imampuro (Limpung, Batang), Chasan (Tirto, Pekalongan), Abu Salim (Kedungwuni, Pekalongan), Idris (Indramayu Cirebon), Abdul Manan (Purwodadi), Abdul Qohar (Bekingkin, Kendal), dan Iman Tani (Kutowinangun, Kebumen).
           ”Selain mengajar, Kiai Rifa’i juga tekun menulis kitab dengan tulisan pegon (tulisan arab dengan bahasa Jawa). Kitab-kitab beliau ini disebut kitab tarajumah atau terjemahan.”
Syadhirin menjelaskan, sikap antikolonialisme Kiai Rifa’i terhadap Pemerintah Belanda tidak lakukan secara fisik, tapi dengan menciptakan keyakinan bahwa pemerintahan penjajah dan pengikutnya itu kaum kafir.
           Karena itu, Belanda menggangap sikap nasionalisme Kiai Rifa’i sebagai ancaman bagi pemerintahannya. Walaupun secara nyata tidak menjurus sebagai gerakan politik Islam, pemahaman kafir terhadap Belanda yang telah menindas bangsa Indoensia dikhawatirkan memunculkan gerakan antipenjajahan.
          ”Ternyata sikap dan semangat yang diajarkan Kiai Rifa’i itu benar-benar meresap di hati masyarakat. Karena ajarannya mengancam eksistensi Belanda, akhirnya Kiai Rifa’i diasingkan ke Ambon. Setelah itu, beliau dipindahkan ke tahanan Kampung Jawa di Tondano sampai wafat dan dimakamkan di sana. Alhamdullilah, setelah bertahun-tahun diusulkan, akhirnya pada 2004 bertepatan dengan Hari Pahlawan, pemerintah menganugerahkan gelar pahlawan nasional kepada KH Ahmad Rifa’i di Istana Negara Jakarta,” ujar H Ahmad Syadirin.

Diambil dari : www.suaramerdeka.com

Tidak ada komentar:

Posting Komentar